Pasangkayu, ide-ta.com – Baru-baru ini, Yayasan Kemala Bhayangkari Daerah Sulawesi Barat (Sulbar) mengunjungi Suku Bunggu dalam rangka Bakti Sosial (Baksos) di Kabupaten Pasangkayu.
Suku Bunggu adalah nama yang diberikan kepada komunitas masyarakat yang mendiami daerah pegunungan di Mamuju Utara atau Kabupaten Pasangkayu, dengan pola hidup nomaden. Beberapa di antara mereka telah berinteraksi dengan suku lain. Namun, tidak sedikit pula yang masih bertahan hidup di pedalaman dan menjadi komunitas suku terasing.
Suku Bunggu aslinya adalah Suku Kaili dari Sulawesi Tengah (Sulteng). Orang tua dari Suku Bunggu kemudian menyebar ke wilayah lain misalnya, Mamuju Utara karena hutan masih sangat lebat untuk dibuka menjadi perkampungan dan kebun seadanya. Suku inilah yang kemudian menjadi Suku Da’a, Suku Bunggu, dan suku-suku lainnya.
Penyebaran mereka hingga ke Mamuju Utara dan beberapa daerah lainnya lebih banyak dipengaruhi pola hidup nomaden atau hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Rumah yang digunakan untuk berlindung dari terpaan sinar matahari, hujan dan serangan binatang buas, selalu dalam bentuk darurat atau tidak permanen.
Namun sekarang, beberapa suku Bunggu mulai menemukan titik balik dari kehidupan berkelana mereka menjadi hidup menetap dan membentuk sebuah perkampungan. Mereka mulai mengenal rumah berdinding dan berlantai papan. Atap memang masih tetap menggunakan daun rotan atau daun nira.
Rumah yang mereka bangun tetap dalam ukuran yang kecil sekira 4×6 meter. Bagian rumah tersekat menjadi dua, yakni ruang tempat menerima tamu dan bagian rumah yang lainnya, digunakan sebagai tempat beristirahat sekaligus langsung terhubung dengan tempat memasak. Tinggi rumah mereka rata-rata masih setinggi 2-3 meter dengan tangga tunggal yang terbuat dari batang kayu bulat yang dibuat coakan sebagai tempat pijakan kaki.
Suku Bunggu hidup berladang dan berpindah-pindah dengan membuka hutan dan membentuk sebuah komunitas atau perkampungan yang terdiri dari lima kepala keluarga (KK) atau maksimal 30 KK. Rumah mereka dibangun di atas pohon yang tingginya dapat mencapai 20 meter. Bentuknya sangat sederhana, sehingga sering disebut sebagai rumah pohon.
Selain rumah pohon, mereka juga kadang membangun rumah sederhana model panggung setinggi 2-3 meter. Lantainya terbuat dari bilah bambu atau kulit kayu yang dikelupas serta beralaskan tikar daun nipah atau daun pohon sagu yang dianyam seadanya. Karena keterbatasan alat, kedua jenis rumah ini hanya berdinding daun rotan, atau bahkan lebih banyak yang tidak berdinding.
Tiang-tiang rumah mereka adalah batangan kayu bulat utuh yang berukuran tidak terlalu besar. Untuk menyambungkan bagian satu dengan yang lainnya, tidak menggunakan paku, melainkan cukup hanya diikat rotan. Suku Bunggu telah mengenal permusyawaratan adat. Selain menaati hukum pemerintah, mereka juga sangat taat terhadap hukum adat.
Dalah kesempatannya, Ketua Bhayangkari Daerah Sulbar Ny. Miranti Adang disambut oleh Suku Bunggu, mengucapkan terima Kasih kepada Seluruh masyarakat Suku Da’a di Dusun Saloraya Desa Gunung Sari.
“Saya Ketua Bhayangkari Daerah Sulbar bersama rombongan sangat berterimah Kasih kepada Seluruh masyarakat Suku Da’a Dusun Saloraya Desa Gunung Sari telah menyambut kami dengan luar biasa,” ucapnya.
“Hari ini kami laksanakan Bakti Sosial dalam rangka HUT Yayasan Kemala Bhayangkari ke 44 Tahun 2024, kami menyapa berkenalan dengan Masyarakat Dusun Saloraya Desa Gunung Sari sangat Senang dan bahagia melihatnya, sekali lagi terima kasih banyak kepada kepala suku Sdr. Bapak Neso,” tambahnya.
Diakhir sambutanya Ketua Bhayangkari Daerah Sulbar berpesan kepada anak-anak suku Da’a, “Berburulah Banyak Ilmu Anak-Anakku, Supaya Sulbar Makin Maju,” pesan Ibu Kapolda Sulbar Ny. Miranti Adang.
Sementara itu, Andi Latifa Arifin, pemerhati seniman di Pasangkayu mengatakan, kunjungan ibu kapolda Ny Miranti Adang Ginanjar ke kampung Bunggu Luar merupakan langkah positif dalam memperluas dialog antara komunitas dalam.
Hal ini memungkinkan ibu Kapolda untuk mendengarkan dan melihat langsung kebutuhan masyarakat Bunggu serta memperkuat keterlibatan pemerintah dalam membangun hubungan yang lebih baik.
“Di tambah lagi penggunaan baju kulit kayu oleh ibu kapolda sendiri yang menunjukkan kearifan lokal masyarakat bunggu dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan,” ujar Andi Latifa Arifin.
Pemerhati seniman Kabupaten Pasasangkayu tersebut mengatakan, Suku Bunggu adalah potret kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Suku yang tinggal di kawasan pegunungan di Mamuju Utara itu punya berbagai keunikan, yang jarang dilakukan oleh manusia kebanyakan. Dimana suku ini hidup di atas pohon dan memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupannya.
“Saya bukan orang bunggu asli, melihat ibu Kapolda menggunakan baju kulit kayu, saya merasakan bahwa masyarakat bunggu bangga dengan melihatnya, ini juga mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi unik mereka yang patut dihargai dan dilestarikan,” tutup Andi Latifa Arifin.
(*)